FIFA 2018 Resmi Tanpa Italia, Seperti Apa Jadinya?


Mimpi buruk itu akhirnya terjadi juga. Italia tak lolos ke Piala Dunia 2018. Ya, negara yang sebelumnya lolos 18 kali dari 20 edisi Piala Dunia, melaju ke final hingga enam kali, memenangkan empat di antaranya, dan menjadi satu dari sedikit negara yang mendapat julukan sebagai "negara sepakbola".

Peristiwa yang sungguh tak terbayangkan bagi seluruh penduduk dan pendukung Italia. Padahal jika berbicara tradisi, Piala Dunia di Rusia esok jadi jatah Gli Azzurri melaju ke final dalam siklus 12 tahunannya. Kapten mereka, Gianluigi Buffon, juga bakal jadi satu-satunya pemain yang ambil bagian di enam edisi Piala Dunia.

Piala Dunia 2018 bisa jadi momentum kebangkitan Italia di sepakbola, yang belakangan terus dibanjiri kritik. Namun fakta bahwa lolos kualifikasi saja tak mampu, sejatinya hanya sekadar mengonfirmasi sedalam apa kejatuhan mereka di sepakbola.

Ada begitu banyak masalah sepakbola di Italia. Mulai dari reduksi kualitas kompetisinya, kemandulan lahirkan pemain bertalenta, hingga organisasi yang buruk dari federasinya. "Piala Dunia sudah lenyap dari Italia sejak 15 tahun silam. Sepakbola Italia dikendalikan oleh mumi," begitu gambaran Paolo Cannavaro usai Italia tak lolos.

Mari kita mulai dari Serie A Italia yang sudah sangat jauh dari julukan masa lalunya sebagai liga terbaik di dunia. Stadion dengan penonton yang hanya terisi setengahnya, klub-klub kecil bergantian gulung tikar, dan fakta bahwa tak satu pun klub Serie A berjaya di Eropa sejak 2010 lalu adalah fenomenanya.

Fasilitas dan kemasan kompetisi di Italia juga terbilang memprihatinkan, seturut fakta bahwa 95 persen klub di Italia tak miliki stadion sendiri. Jika harus membandingkannya dengan La Liga Spanyol, Bundesliga Jerman, Liga Primer Inggris, dan Ligue 1 Prancis, mudah disimpulkan jika kemasan yang dijual Serie A paling tak sedap dipandang 

Level kompetitif kompetisi pun mulai dipertanyakan, karena dalam 11 dari 12 musim terakhir hanya terdapat dua klub yang memenangkan Scudetto. Juventus sang juara bertahan enam musim terakhir, merupakan dominasi terpanjang dalam sejarah Serie A. Ya, begitu monoton.

Segalanya diperburuk dengan keengganan klub-klub di Serie A mengunakan jasa pemain pribumi. Sebanyak 52 persen atau mayoritas pemain yang berlaga di Serie A merupakan jasa asing. Tentu saja fenomena ini berkorelasi langsung dengan miskinnya bakat tulen asli Italia yang bersinar.

Klub-klub besar seperti Inter, AC Milan, AS Roma, dan Napoli yang kini ada di puncak klasemen rata-rata hanya menggunakan satu hingga dua pemain Italia di setiap laga. Juve yang dikenal dengan tradisinya mengedepankan pemain Italia, dalam tiga tahun terakhir cuma mengandalkannya di sektor pertahanan dengan rerata usia yang sudah uzur.

Inggris memang punya situasi yang lebih parah dan kerap dijadikan pembelaan Italia, karena EPL dikuasai oleh 64 persen pemain asing. Namun setidaknya Inggris punya perhatian serius dalam pembinaan usia mudanya, dengan menyabet seluruh gelar kejuaraan junior pada 2017 ini. Italia? Mereka tak pernah lagi juara di level junior sejak Euro U-21 pada 2004 silam.

Menjadi begitu memprihatinkan ketika di Piala Dunia 1998 lalu Cesare Maldini terpaksa meninggalkan Gianfranco Zola, Roberto Mancini, Francesco Totti, Giuseppe Signori, Fabrizio Ravanelli, Vincenzo Montella, Pierluigi Casiraghi sampai Paolo Di Canio, untuk memberi tempat pada Roberto Baggio, Alessandro Del Piero, Christian Vieri, Filippo Inzaghi dan Enrico Chiesa di lini depan.

Kini sektor itu diisi oleh Eder, bomber pelapis di Inter, Manolo Gabbiadini, andalan klub medioker EPL, dan Ciro Immobile, spesialis gagal di tim besar. Dalam setahun terakhir, sosok-sosok tak layak lain macam Leonardo Pavoletti, Gianluca Lapadula, Roberto Inglese dan Nicola Sansone, juga mendapat panggilan.

Keterpurukan sepakbola Italia makin ditegaskan dengan keberadaan Carlo Tavecchio di pucuk kepemimpinan federasi sepakbolanya (FIGC). Kakek 74 tahun ini lebih dikenal karena kerasisannya, ketimbang kontribusinya untuk sepakbola.

"Di Inggris, mereka punya seleksi yang ketat untuk para pemain profesional. Di sini, kita punya 'Opti Poba' yang sebelumnya cuma makan pisang dan tiba-tiba bisa bermain untuk Lazio," begitu pernyataan rasialnya yang paling populer, untuk pemain muda berkulit hitam milik Lazio, Joseph Minala.

Agen bola terpercaya di Indonesia juga menyadari bahwa tidak ada kebijakan berarti yang dibuatnya baik di level liga dan Timnas sejak menjabat pada 2014 lalu. Tavecchio bahkan begitu lunak ketika dihadapkan pada kasus rasial oleh tifosi. UEFA pun amat membenci sikapnya hingga kerap tak diundang dalam banyak agenda.

Keputusan paling gila dari Tavecchio adalah mengisi pos kosong peninggalan Antonio Conte dengan pelatih gaek yang dalam empat dekade kariernya "sukses" mengoleksi satu trofi Serie C dan dua trofi Serie D, Gian Piero Ventura!

Ventura adalah sosok nomor satu yang paling layak disalahkan atas tragedi paling memalukan di sepakbola Italia ini. Mengapa? Karena dengan segala keterbatasan dan kebobrokan yang tengah dialami, lolos ke Piala Dunia merupakan keniscayaan untuk La Nazionale.

Menurut Anda mengapa Italia masih mampu melenggang ke final Euro 2012, jadi juara tiga Piala Konfederasi 2013, dan tampil mengesankan pada Euro 2016 lalu dengan segala keterbatasannya? Jawabannya adalah karena mereka diasuh oleh pelatih yang tepat.

Italia bagaimanapun masih jadi gudangnya pelatih terbaik dunia. Musim lalu pelatih asal Italia berhasil menjuarai tiga dari lima kompetisi terbaik di Eropa. Karenanya entah bagaimana Tavecchio menunjuk Ventura untuk menangani tim yang jadi kebanggaan segenap warga Italia, di antara banyaknya pelatih kelas dunia yang tersedia kala itu. Sebut saja Roberto Mancini, Vincenzo Montella, atau Fabio Capello.

Latar belakangnya memang masuk akal, menilik imej Ventura sebagai pelatih yang kerap mengorbitkan bakat muda. Namun dengan kekekeringan talenta yang dialami Italia, pilihan itu pada akhirnya tidak bijak. Pemain-pemain gaek macam Andrea Barzagli, Daniele De Rossi, dan Marco Parolo masih awet dipanggil.

Dosa terbesar Ventura adalah kengototannya mengubah identitas Italia. Dikenal sebagai tim yang pragmatis dengan catenaccio-nya, Azzurri dipaksa memainkan sepakbola proaktif-ofensif ala Pep Guardiola, yang sukses dipraktikannya bersama klub-klub medioker macam Bari atau Torino.

"Guardiolismo  telah merusak satu generasi pemain bertahan. Sekarang semua pemain berpikir untuk menekan, memulai serangan; tidak ada pemain bertahan Italia yang mengintimidasi lawan dan tradisi kami perlahan mati," sentil Chiellini baru-baru ini, terhadap taktik Ventura.

Kakek berusia 69 tahun itu tampaknya tak berlajar dari Conte yang akhirnya berdamai dengan identitas Italia, kendati ingin bermain dengan lebih ofensif di Euro 2016 lalu.

Keriskanan Ventura sejatinya sudah tampak di babak grup kualifikasi. Dia tak konsisten dalam menentukan formasi  mulai dari 3-5-2, 4-2-4, hingga 3-4-3 dan berimbas di periode akhir babak grup saat melawat ke Santiago Bernabeu, hadapi Spanyol.

Secara sembrono Spanyol yang tersohor dengan filosofi tiki-takanya, diajaknya bermain terbuka tanpa sadar komposisi pemain seperti apa yang dimiliki Italia. Tak pelak, kekalahan telak 3-0 pun ditelan yang menstimulasi Italia melakoni duel play-off.

Kemediokerannya kemudian terpampang secara tegas dalam dua leg play-off hadapi Swedia. Menerapkan formasi 3-5-2 yang tak pernah dipraktikan dalam enam partai terakhir, Ventura tak bisa memutar otak tatkala Antonio Candreva cs dalam situasi deadlock.

Italia memang mendominasi penuh jalannya laga bahkan mencapai angka 76 persen penguasaan bola pada leg kedua. Namun -- kecuali tembakan Matteo Darmian yang membentur mistar -- tak ada peluang berarti yang sanggup dihasilkan Italia.

Italia hanya berputar-putar ketika sampai di area pertahanan Swedia, yang begitu rapat dan disiplin. Penetrasinya mudah ditebak, yakni melancarkan umpan melalui kedua sayapnya tanpa akurasi yang jelas. Tak ada variasi, tak ada kreasi sama sekali dari tengah lapangan atau mobilitas berarti dari para penyerangnya.

Ventura juga tak berani mengambil risiko menarik Swedia keluar dari zona amannya, untuk kemudian memukul balik ketika pertahanan sang lawan saat mulai renggang. Sederhananya, Ventura cuma tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dan kurang ajarnya, dia menolak mengundurkan diri usai hasil memalukan ini.

Merangkum segalanya sekaligus mengapresiasi Swedia, jelas bahwa Piala Dunia 2018 memang tak layak untuk Italia.

Tragedi ini juga menandai berakhirnya sebuah era. Gianluigi Buffon, Andrea Barzagli, dan Daniele De Rossi yang jadi bagian dalam skuat juara Italia di Piala Dunia 2006 memutuskan pensiun. Plus Giorgio Chiellini yang belakangan jadi simbol bek tangguh ala Italia.

Khusus untuk Buffon, Ventura beserta FIGC benar-benar harus meminta maaf karena telah menodai riwayat kariernya yang luar biasa. Diiringi tangis yang dalam, pengoleksi 175 caps untuk Italia itu secara ironis harus menyampaikan permintaan maaf dan rasa penyesalan di partai pamungkasnya.

"Inilah satu-satunya penyesalan yang saya miliki dan pastinya bukan karena saya menuntaskan karier saya, karena waktu berlalu dan ini jadi saat yang tepat [untuk pergi]. Saya sangat memahami betapa pentingnya Piala Dunia untuk negara ini dan saya meminta maaf," tutur Buffon meringis, seperti dikutip situs judi bola online terpercaya.

Bagaimanapun revolusi harus segera dimulai di sepakbola Italia, dengan diawali penggusuran para biadab di kursi kepengurusan FIGC. Butuh waktu yang tak singkat memang, tapi jika situasi ini terus berlangsung, sepakbola Italia hanya akan terperangkap dalam limbo kejayaan masa lalu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemain AKB48 Ini Bosan Nyanyi, Jadi Bintang Film Panas

Menghilangkan Kotoran Hitam Pada Pantat